Jumat, 11 Februari 2011

NEGARA, BURUH DAN KORPORASI

Persoalan besar yang mengharu-biru perburuhan di Tanah Air, tidak selalu bertitik tolak dari Hubungan-hubungan eksploitatif buruh oleh majikan. Disimak sepintas lalu pergolakan kaum buruh menuntut kesejahteraan bermula dari tidak adanya “pertobatan” kalangan majikan. Karena itu pula, sang majikan tampak mencolok sebagai aktor antagonis yang tidak pernah merasa bersalah tatkala mengeksploitasi buruh. Potret majikan demikian itu tampak terang benderang oleh bombardir pernyataan tokoh-tokoh buruh nasional. Tetapi, dalam kenyataan sesungguhnya, masalah perburuhan tidak selinear itu. Problema perburuhan tidak melulu dihentikan oleh distorsi secara vis-à-vis buruh versus majikan. Manakala ditilik secara saksama, ada sementara korporasi yang mengusung cita-cita menyejahterakan buruh. Hanya saja, cita-cita tersebut kandas oleh terlampau kuatnya tantangan yang datang dari lingkup eksternal korporasi.

Bagi kita yang berdiri di luar gelanggang konflik perburuhan, tidak terelakan jika kemudian terjebak ke dalam simplifikasi pemahaman. Konflik perburuhan dimengerti dalam spektrum sempit korporasi. Konflik perburuhan pun cenderung diasumsikan sebagai masalah internal korporasi. Padahal, korporasi di Indonesia bukanlah realitas atomistik, dan karena itu rentan dari pengaruh eksternalitas. Pola kerja korporasi justru tidak steril dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang diskonfiguratif (baca:merusak). Dengan demikian, korporasi beroperasi dengan memikul beban eksternalitas yang diskonfiguratif. Tidak mengherankan jika eksternalitas itu malah berkorelasi negatif dengan keniscayaan terciptanya keunggulan kompetitif korporasi.

Mangsa dan Pemangsa

Fakta menunjukan, entitas-entitas bisnis di berbagai penjuru, Nusantara merupakan domain terjadinya pemerasan oleh aparat Negara. Rupanya, telah sedemikian rupa muncul persepsi umum di kalangan aparat negara, bahwa entitas-entitas bisnis merupakan sumber finansial yang subur. Sejalan dengan orientasi feodalistik dalam menggerakkan roda kekuasaan di berbagai tingkatan tata kelola negara, sumber finansial tersebut diskenariokan agar sewaktu-waktu bisa ”diotak-atik”. Maka, dengan berbagai dalih, aparat negara tidak habis-habisnya memberlakukan Pungutan Liar (Pungli), dengan entitas-entitas bisnis sebagai korbannya. Oknum pemerintahan, terus-menerus mencari celah untuk memosisikan diri sebagai obyek penderita aksi-aksi pungli. Situasi menjelang Idul Fitri atau saat-saat menjelang peringatan HUT Kemerdekaan merupakan peluang emas bagi oknum aparat negara untuk melakukan pungli apa yang kemudian penting dicatat demikian ialah hubungan mangasa dan pemangsa. Dari generasi ke generasi, aparat negera memosisikan diri sebagai pemangsa. Sementara, korporasi - korporasi disudutkan sebagai mangsa. Apa yang sejak awal dekade 1980-an ditengarai sebagai ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari hubungan mangsa dan pemangsa itu. Tragisnya lagi, dana yang berhasil dikeruk dari korporasi mengalir ke kantong - kantong pribadi aparat negara. Begitulah hingga kekuasaan politik di Indonesia berada di bawah pengendalian Orde Reformasi, relasi mangsa - pemangsa itu tidak dapat diamputasi. Sebagai bangsa, kita terjebak ke dalam karma penuh kutukan. Pungli kemudian menstimuli lahirnya habitus yang menggeser hakikat aparat negara dari semula pamong praja untuk kemudian merosot sakadar menjadi pangreh praja. Bangsa ini lantas diperhadapkan dengan masalah besar premanisme berkedok aparat negara.

Pada titik di mana hubungan mangsa dan pemangsa menggelembungkan biaya produksi ekonomi, korporasi - korporasi lalu harus mengambil sebuah penyikapan yang tidak manusiawi. Budget korporasi yang secara prinsipil dimaksudkan menyejahterakan buruh, pada akhirnya digerus untuk melayani aparat negara yang bangga bermahkotakan pungli. Munculnya berbagai konflik perburuhan setiap tahun yang dipicu tidak terbayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang perhelatan Idul Fitri, tidak pernah bisa dilepaskan dari relasi mangsa - pemangsa sebagaimana dijelaskan di atas. Diakui atau tidak, pungli telah mendegradasi kehidupan kaum buruh di Indonesia.

Paramida Pengorbanan

Jujur harus diakui, tidak semua pemimpin korporasi memandang penting kesejahteraan buruh. Kita masih harus membubuhkan catatan kritis terhadap orientasi para pemimpin korporasi yang hanya mengedapankan pencapaian keuntungan berskala besar. Inilah pemimpin korporasi yang berpijak pada cara pandang miopik, lantaran hanya memandang buruh berfungsi sebagai faktor produksi. Buruh pun diperas untuk keperluan akumulasi kapital. Pemimpin korporasi dengan tipologi ini meraup nilai lebih-meminjam istilah Karl Marx dengan memaksa buruh untuk tidak mendapatkan kesejahteraan. Misalnya, pungli yang diorkestrasi aparat negara memperparah kenyataan buruk ini.

Tanpa adanya pungli sekalipun, kaum buruh tersuruk di dasar piramida pengorbanan. Korporasi, bagaimana, dikonstruksi dengan mengacu pada pola-pola relasi vertikal mengerucut ke atas, dan merefleksikan adanya diferensiasi kepentingan. Lapisan bawah korporasi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengecap rasio terendah keuntungan korporasi. Mereka adalah buruh atau karyawan yang kedudukannya dipandang kurang signifikan dibandingkan manajer dan pimpinan korporasi. Tingginya jumlah pengangguran yang berburu pekerjaan, justru memungkinkan terciptanya lapisan dasar piramida pengorbanan. Maka, tidak mengherankan jika pendapatan manajer dan pimpinan korporasi bisa 30 kali lipat hingga 50 kali lipat di atas pendapatan buruh. Korporasi dalam potret piramida pengorbanan lalu dengan mudahnya dirasakan sebagai sumber timbulnya ketidakadilan ekonomi.

Pungli aparat negara justru kian memperberat beban penderitaan kaum buruh. Langsung maupun tidak lansung, konstruk piramida pengorbanan disesaki oleh faktor eksternalitas korporasi. Sehingga, pada lapisan terbawah piramida pengorbanan terbentang kehadiran kaum buruh dengan rasio pengorbanan paling besar. Pada level tengah piramida pengorbanan, terdapat manajer dan pimpinan perusahaan. Sementara pada level puncak piramida, bertengger aparat negara. Sekalipun tampak abstrak, orientasi yang terpilih pada puncak piramida merupakan sebab paling fundamental timbulnya masalah perburuhan. Inilah eksponen parasit dalam piramida, yang meraih keuntungan melalui jalan penghisapan.

Maka, sampai kapanpun, buruh terus-menerus dihantui mimpi buruk rendahnya bargaining position.Sejauh tidak ada kedigdayaan membongkar piramida pengorbanan yang mengabadikan kultur imperialisme aparat negara atas korporasi, maka sejauh itu pula kita diperhadapkan dengan persoalan pelik perburuhan. Kapan bangsa ini diayomi oleh aparat negara yang bersih, jujur dan merakyat?

Itulah pertanyaan bernada kritikal yang hingga kini melingkupi horizon ke-Indonesia-an. Kita pun sampai pada kesimpulan, bahwa aparat negara merupakan reingkarnasi dari kehadiran kaum imperialis yang selama ratusan tahun sebelum kemerdekaan telah menistakan rakyat senista-nistanya. Mari mencari jawab pada rumput yang bergoyang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar