Persoalan besar yang mengharu-biru perburuhan di Tanah Air, tidak selalu bertitik tolak dari Hubungan-hubungan eksploitatif buruh oleh majikan. Disimak sepintas lalu pergolakan kaum buruh menuntut kesejahteraan bermula dari tidak adanya “pertobatan” kalangan majikan. Karena itu pula, sang majikan tampak mencolok sebagai aktor antagonis yang tidak pernah merasa bersalah tatkala mengeksploitasi buruh. Potret majikan demikian itu tampak terang benderang oleh bombardir pernyataan tokoh-tokoh buruh nasional. Tetapi, dalam kenyataan sesungguhnya, masalah perburuhan tidak selinear itu. Problema perburuhan tidak melulu dihentikan oleh distorsi secara vis-à-vis buruh versus majikan. Manakala ditilik secara saksama, ada sementara korporasi yang mengusung cita-cita menyejahterakan buruh. Hanya saja, cita-cita tersebut kandas oleh terlampau kuatnya tantangan yang datang dari lingkup eksternal korporasi.
Pada titik di mana hubungan mangsa dan pemangsa menggelembungkan biaya produksi ekonomi, korporasi - korporasi lalu harus mengambil sebuah penyikapan yang tidak manusiawi. Budget korporasi yang secara prinsipil dimaksudkan menyejahterakan buruh, pada akhirnya digerus untuk melayani aparat negara yang bangga bermahkotakan pungli. Munculnya berbagai konflik perburuhan setiap tahun yang dipicu tidak terbayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang perhelatan Idul Fitri, tidak pernah bisa dilepaskan dari relasi mangsa - pemangsa sebagaimana dijelaskan di atas. Diakui atau tidak, pungli telah mendegradasi kehidupan kaum buruh di Indonesia.
Tanpa adanya pungli sekalipun, kaum buruh tersuruk di dasar piramida pengorbanan. Korporasi, bagaimana, dikonstruksi dengan mengacu pada pola-pola relasi vertikal mengerucut ke atas, dan merefleksikan adanya diferensiasi kepentingan. Lapisan bawah korporasi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengecap rasio terendah keuntungan korporasi. Mereka adalah buruh atau karyawan yang kedudukannya dipandang kurang signifikan dibandingkan manajer dan pimpinan korporasi. Tingginya jumlah pengangguran yang berburu pekerjaan, justru memungkinkan terciptanya lapisan dasar piramida pengorbanan. Maka, tidak mengherankan jika pendapatan manajer dan pimpinan korporasi bisa 30 kali lipat hingga 50 kali lipat di atas pendapatan buruh. Korporasi dalam potret piramida pengorbanan lalu dengan mudahnya dirasakan sebagai sumber timbulnya ketidakadilan ekonomi.
Pungli aparat negara justru kian memperberat beban penderitaan kaum buruh. Langsung maupun tidak lansung, konstruk piramida pengorbanan disesaki oleh faktor eksternalitas korporasi. Sehingga, pada lapisan terbawah piramida pengorbanan terbentang kehadiran kaum buruh dengan rasio pengorbanan paling besar. Pada level tengah piramida pengorbanan, terdapat manajer dan pimpinan perusahaan. Sementara pada level puncak piramida, bertengger aparat negara. Sekalipun tampak abstrak, orientasi yang terpilih pada puncak piramida merupakan sebab paling fundamental timbulnya masalah perburuhan. Inilah eksponen parasit dalam piramida, yang meraih keuntungan melalui jalan penghisapan.
Maka, sampai kapanpun, buruh terus-menerus dihantui mimpi buruk rendahnya bargaining position.Sejauh tidak ada kedigdayaan membongkar piramida pengorbanan yang mengabadikan kultur imperialisme aparat negara atas korporasi, maka sejauh itu pula kita diperhadapkan dengan persoalan pelik perburuhan. Kapan bangsa ini diayomi oleh aparat negara yang bersih, jujur dan merakyat?
Itulah pertanyaan bernada kritikal yang hingga kini melingkupi horizon ke-Indonesia-an. Kita pun sampai pada kesimpulan, bahwa aparat negara merupakan reingkarnasi dari kehadiran kaum imperialis yang selama ratusan tahun sebelum kemerdekaan telah menistakan rakyat senista-nistanya. Mari mencari jawab pada rumput yang bergoyang!