Jumat, 11 Februari 2011

HUBUNGAN INDUSTRIAL ERA BARU PARADIGMA LAMPAU

Olen : Subiyanto Pudin,S.Sos. (*)

Hubungan Industrial adalah sistem hubungan antara para pelaku produksi barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Di Indonesia idealnya sebagai negara yang menganut azas negara Pancasila dan UUD 1945. yang sudah menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai konsensus nasional sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang mestinya nilai –nilai tersebut dapat kita rasakan dan dilaksanakan secara nyata bukan hanya sekedar lipstick belaka dalam proses pergaulan dan pelaksanaan hubungan industrial.

Sistem hubungan industrial adalah suatu formulasi dan strategi untuk mensinergikan kekuatan para pelaku agar dapat tercapai produksi barang dan jasa secara optimal sekaligus mengatur benturan kepentingan antara pelaku-pelaku dalam hubungan industrial tersebut.

Hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah pola hubungan yang paradoks,satu sisi pengusaha dan pekerja/buruh dalam proses mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama agar menghasilkan barang/jasa secara optimal, namun dalam sisi yang lain dalam hal pembagian hasil pencapaian proses dan distribusi kemakmuran kedua pihak terjebak dalam sifat manusia sebagai “homo homoni lupus”. Cenderung egois, menjadi manusia “serigala” pemangsa manusia yang lain.

Pertanyaannya adalah, Mengapa sistem hubungan industrial di Indonesia dalam era reformasi ini tidak segera mengurai kompleksitas masalah ketenagakerjaan yang sekian lama belum dapat diperbaiki, bahkan masalah ketenagakerjajan semakin hari semakin carut marut dengan kompleksitas problematik yang mepengaruhinya ? Dugaan awalnya bahwa dalam sistem HIP “Hubungan Industrial Pancasila” tempo dulu dimasa Rezim orde baru berkuasa, kekuatan sistem itu dilakasanakan dan dipertahankan dengan Hyper kekuasaan yang memangsa komponen sistem yang lemah (pekerja/buruh). Pada saat itu Sikap kritis gerakan protes dari pekerja/buruh diberangus oleh penguasa yang dianggap ganguan dari sistem itu sendiri, Sistem ini beroperasi layaknya predator dalam rimbah, Karateristik sistem HIP yang otoriter itu masih mengakar kuat dalam tataran praktis sampai saat ini, terasa banyak sekali campur tangan yang diluar sistem yang ingin mendapatkan pembagian kue dengan dalih “kekuasaan” dengan konsep KKN nya.

Pada era itu kompleksitas dan dinamika permasalahan ketenegakerjaan yang terjadi tidak ditanggapi dengan dialog melainkan dengan intimidasi dan terror terhadap pekerja/buruh. contoh terakhir terjadinya kasus pembunuhan terhadap aktifis SPSI di jawa timur Sdri.(Alm) Marsinah., Dari luar sistem ini tampak stabil tapi fakta menunjukan setelah sekian puluh tahun bertahan, sistem ini akhirnya jebol juga seiring momentum perlawanan rakyat terhadap sistem kekuasaan negara yang dilaksanakan secara otoriter dalam segala dimensi kehidupan.

Dirubah menjadi HII ” Hubungan Industrial Indonesia”di era reformasi yang menuntut katerbukaan, keadilan dan kemitraan. Telah sekian lama berjalan sejak tahun 1998 sampei sekarang masih belum kita rasakan perubahan yang signifikan karena kita belum dapat merubah paradigma itu “ Paradigma Lampau”. Perubahan yang dialukakan baru sebatas kulit ari belum menyentuh isi yang terkandung didalamnya.

Dalam sistem HII di era reformasi, Hubungan antara pelaku mestinya dibangun diatas landasan keterbukaan, Keadilan (fairness) dan kemauan untuk berbagi baik dalam beban dan tantangan maupun berbagi dalam hal hasil pencapaian produksi dan distribusi kemakmuran. Dalam sistem ini protes/kritik dari buruh adalah bagian dari sistem yang harus dilihat sebagai dinamika komunikasi untuk mengelola kompleksitas masalah tenagakerjaan yang super kompleks idealnya dalam pelaksanaan HII jadikanlah lawan bicara sebagai teman berfikir untuk mencari solusi terbaik yang WIN WIN SOLUTION.

Di era globalisasi ini pasar dan akses informasi yang tanpa batas, paradigma hubungan pengusaha dengan pekerja/buruh harus segera berubah.Dalam proses,kedua pihak harus bersinergi agar mampu melewati dan melampaui tantangan global,demikian juga dalam pembagian hasil pencapaian atau distribusi kemakmuran,pengusaha harus legowo untuk berbagi. Bila kedua belah pihak menyadari dan mempunyai kemauan hubungan yang dibangun atas prinsip kemitraan. Hal ini sangat relevan karena keduanya saling membutuhkan.

Substansi dari sebuah Kemitraan adalah pihak yang sekian lama menikmati kemakmuran (Korporasi) ada kemauan baik (Good Will) berbagi untuk mengangkat derajat mitranya (Pekerja) yang terjerembab dalam sistem yang memiskinkan mereka, karena hakikatnya kemakmuran yang diraih dan dinikamti korporasi selama ini merupakan hasil dari perjuangan bersama.Bukan sebaliknya, pihak yang telah makmur berdiam di menara gading kemakmuran dengan berpura-pura tidak melihat dan mendengar jeritan mitranya yang tersengal-sengal bernafas dalam lumpur kemiskinan akibat pelaksanaan Upah Minimum yang dijadikan sebagai Upah Maksimum oleh Pengusaha yang bermental “Pedagang” dengan paradigma lampau (Kuno).

(*) Aktifis Serikat Pekerja dan Sekum Pimpinan Pusat FSP KEP SPSI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar